Istilah pendidikan inklusi atau inklusif, mulai
mengemuka semenjak tahun 1990, ketika konferensi dunia tentang pendidikan untuk
semua, yang diteruskan dengan pernyataan salamanca tentang pendidikan inklusif
pada tahun 1994.
Konsep pendidikan inklusi muncul
dimaksudkan untuk memberi solusi, adanya perlakuan diskriminatif dalam layanan
pendidikan terutama bagi anak-anak penyandang cacat atau anak-anak yang
berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi memiliki
prinsip dasar bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada
mereka
Pendidikan inklusi adalah
pendidikan yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim
dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai dengan
kebutuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari
latar suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa,
geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama, dan perbedaan
kondisi fisik atau mental
Sementara itu Sapon-Shevin ( O Neil, 1995 )
menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat. Melalui pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus di didik
bersama-sama anak lainnya ( normal ) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya ( Freiberg, 1995 ) . hal ini dilandasi oleh suatu kenyataan bahwa
di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak tidak normal ( berkebutuhan
khusus ) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas sosial
Dalam rencana aksi
nasional, difabel telah dicanangkan mulai tahun 2003, yang salah satu butir
dari rencana aksi nasional difabel adalah pendidikan inklusi. Yang dimaksud dengan
pendidikan inklusi tau inklusif adalag pendidikan yang dapat dijangkau oleh
semua orang dan tanggap terhadap semua peserta didik termasuk difabel secara
invidual
Landasan hukum inklusi
Pendidikan inklusi telah
menjadi perhatian masyarakat dunia. Beberapa pertemuan internasional mendasari
pergerakan menuju pendidikan yang berkualitas bagi semua anak melalui
pendidikan inklusi. Landasan hukum dan landasan konseptual menjadi landasan
bagi gerakan menuju pendidikan inklusif. Termasuk Indonesia, diantaranya adalah
1 deklarasi hak asasi
manusia, 1948
2 konveksi hak anak, 1989
3 konferensi dunia tentang
pendidikan untuk semua, 1990
4 persamaan kesempatan bagi
orang berkelainan, 1993
5 pernyataan salamanca
tentang pendidikan inklusi, 1994
6 komitmen dasar mengenai
pendidikan untuk semua, 2000
7 deklarasi Bandung tahun
2004
Dengan komitmen “indonesia
menuju pendidikan inklusif”
Pendidikan inklusi
1 inklusi tuna netra
2 inklusi tuna rungu
3 inklusi tuna daksa
Inklusi tunanetra adalah pendidikan inklusi bagi anak
yang mengalami gangguan penglihatan atau rusak penglihatannya ( buta total ) .
pendidikan inklusi tunanetra ini peserta didik diberi alat bantu software JOS
yang di install pada PC atau laptop, sehingga semua tulisan dapat diubah
menjadi bunyi oleh software tersebut
Inklusi tunarungu adalah pendidikan inklusi untuk
anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga
mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal. Untuk alat bantu yang digunakan
adalah menggunakan bahasa mimik atau bahasa isyarat
Inklusi tunadaksa adalah pendidikan inklusi untuk
anak yang mengalami cacat fisik berupa tidak memiliki anggota tubuh ( tangan
dan kaki ) ataupun jika punya kaki maupun tangannya tidak dapat berfungsi
secara baik
Manfaat pendidikan inklusi
Pelaksanaan pendidikan inklusi akan mampu mendorong
terjadinya perubahan sikap lebih positif dari peserta didik terhadap adanya
perbedaan melalui pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dan pada
akhirnya akan mampu membentuk sebuah kelompok masyarakat yang tidak
diskriminatif dan bahkan menjadi akomodatif terhadap semua orang
Beberapa manfaat yang
diperoleh dari pelaksaan pendidikan inklusi adalah
A bagi siswa
1.
sejak dini siswa memiliki pemahamanyang
baik terhadap perbedaan dan keberagaman
2.
munculnya sikap empati pada siswa
secara alamiah
3.
munculnya budaya saling menghargai dan
menghormati antar siswa
4.
menurunkan terjadinya stigma dan
labeling kepada semua anak, khusunya pada anak berkebutuhan khusus dan
penyandang cacat
5.
timbulnya budaya kooperatif dan kolaboratif
pada siswa sehingga memungkinkan adanya saling bantu antar satu dengan yang
lainnya
B bagi guru
1.
lebih tertantang untuk mengembangkan
berbagai metode pembelajaran
2.
bertambahnya kemampuan dan pengetahuan
guru tentang keberagaman siswa termasuk keunikan, karakteristik, dan sekaligus
kebutuhannya
3.
Terjalinnya komunikasi dan kerja sama
dalam kemitraan antar guru dan guru ahli bidang lain
4.
menumbuhkembangkan sikap empati guru
terhadao siswa termasuk siswa penyandang cacat / siswa berkebutuhan khusus
C bagi sekolah
1.
memberikan kontribusi yang sangat besar
bagi program wajib belajar
2.
memberikan peluang terjadinya
pemerataan pendidikan bagi semua kelompok masyarakat
3.
menggunakan biaya yang relatif lebih
efisien
4.
mengakomodasi kebutuhan masyarakat
5.
meningkatkan kualitas layanan
pendidikan
Latar Belakang Masalah
Pendidikan inklusi adalah
termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai
pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah
pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi
penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik,
gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan
inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik
bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
A. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
A. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengelompokan anak
berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan
adalah sebagai berikut :
1.
Tuna Netra
2.
Tuna Rungu
3.
Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4.
Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
5.
Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6.
Tuna Grahita Berat (IQ 125)
7.
Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple
Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic,
Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
8.
Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif,
ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara,
Dyspraxia/ Motorik)
9.
Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
10.
Autis
11.
Korban Penyalahgunaan Narkoba
12.
Indigo
2. Tujuan
Pendidikan merupakan
kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar
lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan
pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali
termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang
tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia
belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi
lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan
perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas
segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat
belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.
Gagagasan pendidikan
inklusi
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi
dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program
yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang
cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target
pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak
keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak
tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi
mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di
mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat
anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi,
bahagia dan bertanggung jawab.
inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.
inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.
Landasan Hukum
Landasan Spiritual
a.
Surat An Nisa ayat 9
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b.
Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah
telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat agar sebagian mereka dapat saling mengambil manfaat(membutuhkan)”.
Landasan Yuridis
a.
Konvensi PBB tentang Hak anak tahun
1989.
b.
Deklarasi Pendidikan untuk Semua di
Thailand tahun 1990.
c.
Kesepakatan Salamanka tentang
Pendidikan inklusi tahun 1994.
d.
UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun
1997.
e.
UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak
tahun 2003.
f.
PP No. 19 tentang Standar Pendidikan
Nasional tahun 2004.
g.
Deklarasi Bandung tentang Menuju
Pendidikan Inklusi tahun 2004.
Kalau
kita cermati lebih teliti, landasa spiritual maupun landasan yuridis tersebut
telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang bagaiman penyelenggaraan
pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi.
Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan
inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung,
dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan
bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak
memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan
(Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang
cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4
tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.
II. PENGEMBANGAN KURIKULUM
Lingkup Pengembangan
Kurikulum
Kurikulum pendidikan
inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi
(diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus,
dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum
dilakukan terhadap:
1.
alokasi waktu,
2.
isi/materi kurikulum,
3.
proses belajar-mengajar,
4.
sarana prasarana,
5.
lingkungan belajar, dan
6.
pengelolaan kelas.
Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan
kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang
terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan
berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan
Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli
Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar
Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
C. Pelaksanaan Pengembangan
Kurikulum
Pengembangan kurikulum
dilaksanakan dengan:
1.
Modifikasi alokasi waktuModifikasi
alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
· Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak
berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
· ntuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi
menjadi sekitar 8 jam;
· Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban
belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak
tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
· Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau
ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi
materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
· Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya
diturunkan sedikit.
· Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban
belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi
atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian
tertentu.
3. Modifikasi proses
belajar-mengajar
· Mengembangkan
proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan
problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di
atas normal;
· Menggunakan
pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap
anak;
· Lebih
terbuka (divergent);
· Memberikan
kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen,
sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu
kelompok ke kelompok lain.
· Menerapkan
pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran
kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk
berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui
kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik,
“aku-lah sang juara”!
Namun,
dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin
“ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk
menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu
diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan
pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan
kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan
tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan
kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan
jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan
demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
· Disesuaikan
dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe
auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah
menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah
menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih
mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak
monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki
tipe belajar tertentu saja.
Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah
inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar
dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada
sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki
perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi
hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Solusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
Hasil Pendidikan Inklusi
Menurut Staub dan Peck
(1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika.
5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika.
5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.
Model Model inklusi
A. Alternatif Penempatan
Melihat kondisi
dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif
lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan
mainstreaming, seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000). Penempatan
anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model
sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal)
sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik
dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak
lain (normal) di kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler. Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua
anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata
pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di
kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat.
Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih
banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi).
Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di
sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau
tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang
akan diterapkan, terutama bergantung kepada:
1.
jumlah anak berkelainan yang akan dilayani,
2.
jenis kelainan masing-masing anak,
3.
gradasi (tingkat) kelainan anak,
4.
ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta
sarana-prasara yang tersedia.
Pelayanan pendidikan bagi
anak tunagrahita/retadasi mental dapat diberikan pada:
- Kelas Transisi. Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas tansisi sedapat mungkin berada disekolah regler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
- Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C, C1). Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1
- Pendidikan Terpadu. Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
- Program Sekolah di Rumah. Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
- Pendidikan Inklusif. Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusi. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusi diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) oarang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusi masih dalam tahap rintisan.
Panti
(Griya) Rehabilitasi. Panti
ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai
kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda
seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus
pada perawatan. Pengembangan dalam pati ini terbatas dala hal:
1.
Pengenalan diri
2.
Sensori motor dan persepsi
3.
Motorik kasar dan ambulasi
(pindak dari satu tempat ke tempat lain)
4.
Kemampuan berbahasa dan
komunikasi
5. Bina
diri dan kemampuan sosial.